Senin, 14 Juli 2008

Definisi Kepemimpinan

1. Koontz & O’donnel, mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi sekelompok orang sehingga mau bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meraih tujuan kelompoknya.
2. Wexley & Yuki [1977], kepemimpinan mengandung arti mempengaruhi orang lain untuk lebih berusaha mengarahkan tenaga, dalam tugasnya atau merubah tingkah laku mereka.
3. Georger R. Terry, kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang untuk bersedia berusaha mencapai tujuan bersama.
4. Locke, mendefinisikan kategori kepemimpinan menjadi 3 [tiga] elemen dasar, yaitu:
a. Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi [relation consept], artinya kepemimpinan hanya ada dalam relasi dengan orang lain, maka jika tiadak ada pengikut atau bawahan, tak ada pemimpin. Dalam defines Locke, tersirat premis bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan berelasi dengan para pengikut mereka.
b. Kepemimpinan merupakan suatu proses, artinya proses kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu otoritas atau posisi jabatan saja, karena dipandang tidak cukup memadai untuk membuat seseorang menjadi pemimpin, artinya seorang pemimpin harus melakukan sesuatu. Maka menurut Burns [1978], bahwa untuk menjadi pemimpin seseorang harus dapat mengembangkan motivasi pengikut secara terus menerus dan mengubah perilaku mereka menjadi responsive.
c. Kepemimpinan bearti mempengaruhi orang-orang lain untuk mengambil tindakan, artinya seorang pemimpin harus berusaha mempengaruhi pengikutnya dengan berbagai cara, seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model [menjadi teladan], penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman, restrukrisasi organisasi, dan mengkomunikasikan sebuah visi. Dengan demikian, seorang pemimpin dapat dipandang efektif apabila dapat membujuk para pengikutnya untuk meninggalkan kepentingan pribadi mereka demi keberhasilan organisasi [Bass, 1995. Locke et.al., 1991., dalam Mochammad Teguh, dkk., 2001:69.
5. Kepemimpinan adalah "suatu proses terencana yang dinamis melalui suatu periode waktu dalam situasi yang di dalamnya pemimpin menggunakan perilaku (pola/gaya) kepemimpinan yang khusus dan sarana serta prasarana kepemimpinan (sumber-sumber) untuk memimpin (menggerakkan/mempengaruhi) bawahan (pengikut-pengikut) guna melaksanakan tugas/ pekerjaan (menyelesaikan tugas) ke arah (dalam upaya pencapaian) tujuan yang menguntungkan (membawa keuntungan timbal balik) bagi pemimpin dan bawahan serta lingkungan sosial di mana mereka ada/hidup.” Definisi ini dikemukakan oleh J. Robert Clinton dalam bukunya, The Making of A Leader dan dimodifikasi oleh Y. Tomatala, dalam bukunya, Kepemimpinan Yang Dinamis.
6. Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu (Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 24).
7. Kepemimpinan adalah sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan. (Shared Goal, Hemhiel & Coons, 1957, 7).
8. Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang diatur untuk mencapai tujuan bersama (Rauch & Behling, 1984, 46).
9. Kepemimpinan adalah kemampuan seni atau tehnik untuk membuat sebuah kelompok atau orang mengikuti dan menaati segala keinginannya.
10. Kepemimpinan adalah suatu proses yang memberi arti (penuh arti kepemimpinan) pada kerjasama dan dihasilkan dengan kemauan untuk memimpin dalam mencapai tujuan (Jacobs & Jacques, 1990, 281).
11. Lord Montgomery mendefinisikan kepemimpinan sebagai berikut: "Kepemimpinan adalah kemampuan dan kehendak untuk mengerahkan orang laki-laki dan perempuan untuk satu tujuan bersama, dan watak yang menimbulkan kepercayaan." Contoh yang menonjol dari sifat ini adalah Sir Winston Churchill, terutama pada masa-masa yang paling sulit dalam Perang Dunia II.
12. Dr. John R. Mott, seorang pemimpin kaliber dunia di kalangan mahasiswa, memberikan definisi sebagai berikut, "Seorang pemimpin adalah orang yang mengenal jalan, yang dapat terus maju dan yang dapat menarik orang lain mengikuti dia."
13. Definisi Presiden Truman berbunyi, "Seorang pemimpin adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk membuat orang lain suka melakukan sesuatu yang tadinya mereka tidak suka melakukannya."
14. Kepemimpinan sebagai pengaruh antar pribadi yang terjadi pada su­atu keadaan dan diarahkan melalui proses komunikasi ke arah ter­ca­painya sesuatu tujuan (R. Tannenbaum, Irving R. F., Massa­rik).
15. Kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi se­di­kit pada dan berada di atas kepatuhan mekanis terhadap pe­nga­­rah­an-pengarahan rutin organisasi (Katz dan Kahn).
16. Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas-aktivi­tas sebu­ah kelompok yang diorganisasi ke arah pen­ca­pai­an tu­ju­­­an (Rau­ch dan Behling).
INDIKATOR-INDIKATOR KEPEMIMPINAN
CONTOH KASUS KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan Habibie- Kasus Partai Golkar
===========================

Konflik di tubuh Golkar telah "dianggap" selesai. Paling tidak hal itu telah diungkapkan oleh Muladi. Namun demikian, banyak yang tidak memperhatikan proses penyelesaian konflik itu dan lebih melihat pada hasilnya. Padahal proses itu kalau diamati bisa memberi gambaran mengenai bagaimana visi kepemimpinan Presiden Habibie didalam menyelesaikan sebuah masalah.

Seperti kita telah mengetahui, semuah tokoh yang terlibat didalam konflik dan tentu saja DPP diundang ke rumah Presiden Habibie untuk menyelesaikan konflik itu agar tidak semakin besar. Resolusi konflik itu lebih cenderung ke bentuk kompromi yaityu kesepakatan untuk tidak cuap-cuap sendiri [Muladi] dan tetap mencalonkan Habibie sebagai Presiden [Eki-Akbar]. Dua pertanyaan kritis muncul; pertama "mengapa konflik itu baru bisa selesai setelah Presiden Habibie mengambill peran?", ke dua "apakah Akbar Tanjung sebagai ketua umum partai dipandang tidak mampu menyelesaikan sehingga dipandang membahayakan tujuan organisasi Golkar?"

Penyelesaian konflik organisasi di tubuh organisasi Golkar di kediamanPresiden jelas tempat terbaik secara politis, namun hal itu juga sekaligus menyiratkan bahwa organisasi Golkar sebenarnya belum mandiri untuk menyelesaikan masalahnya inetern organisasinya. Habibie sebagai anggota Golkar dan Habibie sebagai presiden tidak mungkin dipisahkan dalam proses penyelesaian konflik itu. sedemokratis apapun proses penyelesaian konflik itu namun figur presiden pada diri Habibie memiliiki harga yang berbeda. Artinya, Golkar masih dengan paradigma lama dimana Presiden adalah referensi utama seperti di jaman Orde Baru dengan Pak Harto sebagai referensi utamanya.

Di sisi yang lain, penyelesaian konflik organisasi Golkar setelah Presiden Habibie turun tangan justru semaki menunjukkan bahwa disamping Golkar dibawah Akbar tidak solid (Monuver Baramuli dkk melalui DPD-DPD untuk "mengganggu" legitimasi kepemimpinan ketua umum partai Akbar Tanjung adalah salah satu indikatornya) juga cara itu justru bersifat negatif terhadap
kewibawaan Akbar Tanjung sebagai ketua umum partai yang ternyata masih belum bisa menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa campur tangan presiden. Munaslub memang tidak akan dilaksanakan namun DPD-DPD itu telah menulis surat ke DPP, artinya mereka secara terbuka telah mempertanyakan kepemimpinan Akbar Tanjung.

Campur tangan Presiden Habibie dalam kasus ini, sebenarnya justru melemahkan posisi Akbar Tanjung secara organisasional. Ini dengan asumsi paradigma baru dan visi baru. Namun, ini juga menunjukkan bagaimana visi kepemimpinan Habibie dalam penyelesaian masalah. Habibie sebagai anggota Golkar yang sedang menjabat Presiden bagaimanapun juga memiliki sumber kekuasaan rangkap. Potensi itu tentunya akan lebih "smart" kalau digunakan untuk mempengaruhi proses penyelesaian konflik secara tidak langsung dan tidak terbuka. Tujuan penyelesaian konflik sudah jelas, oleh karena itu hidden solution adalah lebih baik bagi Golkar.

Dari peristiwa ini kita melhat di satu sisi sistem nilai Habibie sebagai individu yang demokratis dan positive thinking terhadap orang lain namun di sisi lain menunjukkan ketidaktepatan situasi. Orang Jawa mengatakan "bener nanging ora pener" atau benar namun tidak pas. Konsistensi ini juga bisa dilihat dalam stafing kabinetnya yang mencerminkan bagaimana ia hendak merangkul semua golongan, penetapan anggota Dewan pertimbangan Agung yang juga hendak merangkul semua golongan, penganugerahan bintang jasa selama dua kali berturut-turut yang mengundang pertanyaan umum, pengungkapan kasus Freeport , dan penyelesaian kasus-kasus KKN. Berlarutnya pengusutan TriSakti, Semanggi, Galib, Soeharto, Bak Bali telah mencerminkan bagaimana kemampuannya yang dilandasi oleh sistem nilai itu untuk menyelesaikan masalah. Bagaimanapun juga, sistem nilai itu pernah menghidupkan kembali Ali Sadikin dan Nasution yang telah dimatikan secara perdata oleh pemerintahan Soeharto. Hanya Habibie yang mungkin melakukan itu ada saat itu. Ini contoh yang "bener" dan "pener".

Organisasi Learning

BAB 1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam era hiperkompetisi yang semakin turbulen dan menantang, organisasi dituntut untuk memiliki core competence. Karena dalam pemahaman yang mendasar organisasi merupakan kumpulan orang, maka core competence sebuah organisasi melekat pada orang-orang yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, keunggulan sebuah organisasi dalam menghadapi ketatnya persaingan bisnis, sangat tergantung pada individu yang berada di dalamnya, yang memiliki kecepatan, kemampuan daya tanggap, kelincahan, kemampuan pembelajaran dan kompetensi karyawannya yaitu pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan yang berhubungan dengan pekerjaan (Ulrich, 1998). Core competence organisasi dapat terwujud bila manusia yang ada di dalamnya memiliki kompetensi individu. Banyak perusahaan yang kian sadar bahwa kompetensi karyawan yang unggul merupakan salah satu senjata andalan untuk merebut kemenangan. Dalam hal ini, tantangan sebuah organisasi adalah bagaimana meningkatkan kompetensi individu-individu di dalamnya. Oleh karena itu pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang terencana merupakan suatu keharusan.
Sumber daya perusahaan terdiri atas aset tangible maupun aset intangible seperti kemampuan, proses organisasi, atribut-atribut perusahaan, informasi, dan pengetahuan. Setiap langkah perusahaan untuk mengembangkan diri dapat dengan mudah ditiru oleh perusahaan lain, sehingga tidak mungkin terus-menerus dipertahankan sebagai competitive advantage. SDM merupakan sumber keunggulan kompetitif yang potensial, karena kompetensi yang dimilikinya berupa intelektualitas, sifat, keterampilan, karakter personal, serta proses intelektual dan kognitif, tidak dapat ditiru oleh perusahaan lain. Kemampuan ini harus terus diasah oleh perusahaan dari waktu ke waktu dan perusahaan terus mengembangkan keahliannya sebagai pilar perusahaan agar selalu memiliki keunggulan kompetitif. Strategi pengembangan sumber daya manusia sangat terkait dengan strategi pengembangan perusahaan secara keseluruhan. Oleh karena itu, usaha untuk mengembangkan keahlian SDM dapat dilakukan melalui serangkaian program pengembangan SDM, di mana strategi pengembangannya harus diintegrasikan dengan strategi perusahaan.

BAB II. PERMASALAH
Permasalahan
Dengan melihat kondisi sebagian besar perusahaan yang ada sekarang dalam usaha peningkatan SDM pada para karyawannya , penulis mencoba mengangkat beberapa permasalahannya, diantaranya :
Belum ada suatu system yang lebih objectif dalam usaha peningkatan SDM di internal perusahaan.
Back ground dari para karyawan yang berbeda-beda sehingga sulit untuk menyatukan fisi dalam rangka peningkatan SDM.
Pengetahuan keorganisasian dari para karyawan, khususnya karyawan bukan senior masih minim sehingga diperlukan suatu usaha dalam peningkatan pemahaman berorganisasi.

BAB III. PEMBAHASAN
Pembahasan
Dari permasalahan di atas penulis mencoba untuk membahas usaha pengembangan Sumber Daya Manusia ( Human Resource Development ) dengan cara meningkatkan pemahaman para karyawan pentingnya pengetahuan tentang berorganisasi ( Learning Organization )
Pengembangan (development) meliputi pemberian kesempatan belajar yang bertujuan untuk mengembangkan individu, tetapi tidak dibatasi pada pekerjaan tertentu pada saat ini atau di masa yang akan datang. Pengembangan biasanya berhubungan dengan peningkatan kemampuan intelektual atau emosional yang diperlukan untuk menunaikan pekerjaan yang lebih baik. Pengembangan lebih berfokus pada kebutuhan jangka panjang, membantu para karyawan untuk mempersiapkan diri menghadapi perubahan pada pekerjaan mereka, yang diakibatkan oleh teknologi baru, desain pekerjaan, pelanggan baru, atau pasar produk baru. Pengembangan berpijak pada fakta, bahwa seorang karyawan akan membutuhkan pengetahuan, keahlian, dan kemampuan yang berkembang supaya bekerja dengan baik dalam suksesi posisi yang dijalani selama karirnya (Hnery Simamora, 2004: 273). Sasaran langsung dari program pelatihan dan pengembangan dalam organisasi adalah untuk meningkatkan kesadaran diri individu, meningkatkan keterampilan dalam satu bidang tertentu atau lebih, dan meningkatkan motivasi individu untuk melaksanakan tugas atau pekerjaannya secara memuaskan.
Untuk mengantisipasi perubahan-perubahan yang sedang, dan akan terus terjadi, pendesainan proses pengembangan SDM yang efektif, Manzini (1996) memperkenalkan sistem integrasi perencanaan strategik, perencanaan operasional, dan perencanaan dan pengembangan SDM, yang bersifat proaktif dan berorientasi masa depan, sehingga memungkinkan fungsi SDM berperan sebagai bagian yang efektif dalam perencanaan organisasi dan dapat mengakselerasi perencanaan strategik maupun operasional perusahaan.Pengetahuan telah menjadi sesuatu yang sangat menentukan, oleh karena itu perolehan dan pemanfaatannya perlu dikelola dengan baik dalam konteks peningkatan kinerja organisasi. Langkah ini dipandang sebagai sesuatu yang sangat strategis dalam menghadapi persaingan yang mengglobal, sehingga pengabaiannya akan merupakan suatu bencana bagi dunia bisnis. Oleh karena itu diperlukan cara yang dapat mengintegrasikan pengetahuan itu dalam kerangka pengembangan SDM dalam organisasi.
Sejalan dengan konsep perubahan organisasi dan paradigma organisasi, konsep pengembangan sumber daya manusia juga mengalami perubahan. Dampak teknologi informasi terhadap individu dan organisasi mengakibatkan pergeseran jenis pekerjaan dari pekerjaan yang lebih mengandalkan tenaga kerja (fisik) ke pekerjaan yang menuntut pengetahuan (knowledge based works). Karyawan, baik manajerial maupun non-manajerial, yang terampil dalam tugasnya dan mau mempelajari hal-hal baru yang dapat meningkatkan produktivitasnya, kualitas kerjanya, dan berbagi pengetahuan dan pengalamannya pada rekan-rekan kerjanya disebut sebagai knowledge worker. Semakin banyak karyawan dan manajer yang menjadi knowledge worker, maka semakin kuat daya saing perusahaan. Kompetensi perusahaan benar-benar mengandalkan pada kekuatan pengetahuan yang dimiliki para personelnya. Oleh karena konsep pengembangan SDM tidak lagi menekankan hanya pada sistem rekruitment, pendidikan/pelatihan, melainkan konsep pengembangan SDM berlangsung terus-menerus sepanjang individu bekerja di perusahaan tersebut. Hal ini dimungkinkan bila organisasi bertransformasi menjadi learning organization.
Pada sistem ekonomi klasik sistem produktivitas dihasilkan melalui proses manajemen dan teknologi dari kombinasi sumber daya alam, uang, dan sumber daya manusia, sedangkan pada era ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy), produktivitas tumbuh dari kemampuan mendidik tenaga kerja dalam memperoleh kecakapan baru berdasarkan pengetahuan baru. Manajemen pengetahuan (knowledge management), modal intelektual (intellectual capital) dan pembelajaran organisasi (organizational learning) menjadi konsep baru yang penting dalam konsep pengembangan SDM. Esensi dan orientasi pengembangan sumber daya manusia dalam era “new economy” seperti sekarang ini adalah kreativitas dan inovasi dari individu anggota organisasi. Kreativitas dan inovasi ini harus dilatih secara terus- menerus dengan proses belajar yang berkesinambungan. Kreativitas merupakan langkah pertama dan inovasi merupakan langkah kedua untuk melahirkan sesuatu yang baru, unik, dan berguna. Kebaruan dan utilitis yang dihasilkan dari proses kreatif dan inovatif bersumber dari kreativitas individu, kelompok (team), dan organisasi.
Konsep belajar dan menjadi pembelajar, kini telah menjadi core pengembangan sumber daya manusia atau organisasi. Untuk menghadapi perubahan dan beradaptasi diperlukan strategi mengelola perubahan dan hal ini bisa dilakukan dengan membangun learning organozations (LO). Organisasi yang mampu belajar adalah organisasi yang mengutamakan pembelajaran. Pembelajaran adalah suatu proses sekaligus suatu nilai. Idealnya, setiap karyawan harus memiliki komitmen untuk terus memperbaiki diri melalui belajar. Dengan mempelajari hakikat pembelajaran, organisasi secara keseluruhan dituntut untuk selalu memperbaiki semua aspek dirinya baik produk maupun jasa. Ketika karyawan dan organisasi berkembang, karyawan akan merasakan suatu hubungan yang diperbaharui terhadap pekerjaan mereka, pelanggan akan terlayani dengan lebih baik dan organisasi pun akan memiliki masa depan yang lebih baik pula.
A. Pengertian Learning Organization
Beberapa organisasi modern telah membuat suatu kemajuan penting di dalam peningkatan performanya melalui organisasi pembelajaran (learning organisation). Secara umum, konsep ini dapat diartikan sebagai kemampuan suatu organisasi untuk terus menerus melakukan proses pembelajaran (self learning) sehingga organisasi tersebut memiliki ‘kecepatan berpikir dan bertindak’ dalam merespon beragam perubahan yang muncul. Ada berbagai definisi dari learning organization, di antaranya adalah Pedler, Boydell dan Burgoyne dalam Dale (2003) mendefinisikan organisasi pembelajaran sebagai: “Sebuah organisasi yang memfasilitasi pembelajaran dari seluruh anggotanya dan secara terus menerus mentransformasikan diri. Sedangkan Lundberg (Dale, 2003) menyatakan bahwa pembelajaran adalah suatu kegiatan bertujuan yang diarahkan pada pemerolehan dan pengembangan keterampilan dan pengetahuan serta aplikasinya.
Menurut Pedler et al. (Dale, 2003) suatu organisasi pembelajaran adalah organisasi yang:
a. Mempunyai suasana di mana anggota-anggotanya secara individu terdorong untuk belajar dan mengembangkan potensi penuh mereka;
b. Memperluas budaya belajar ini sampai pada pelanggan, pemasok, dan stakeholder lain yang signifikan;
c. Menjadikan strategi pengembangan sumber daya manusia sebagai pusat kebijakan bisnis;
d. Berada dalam proses transformasi organisasi secara terus menerus;
B. Team Learning
Team learning yaitu kemampuan dan motivasi untuk belajar secara adaptif, generatif, dan berkesinambungan. Kini makin banyak organisasi berbasis tim, karena rancangan organisasi dibuat dalam lintas fungsi yang biasanya berbasis team. Kemampuan organisasi untuk mensinergikan kegiatan tim ini ditentukan oleh adanya visi bersama dan kemampuan berfikir sistemik seperti yang telah diuraikan di atas. Namun demikian tanpa adanya kebiasaan berbagi wawasan sukses dan gagal yang terjadi dalam suatu tim, maka pembelajaran organisasi akan sangat lambat, dan bahkan berhenti. Pembelajaran dalam organisasi akan semakin cepat kalau orang mau berbagi wawasan dan belajar bersama-sama. Oleh karena itu, semangat belajar dalam tim, cerita sukses atau gagal suatu tim harus disampaikan pada tim yang lainnya. Berbagi wawasan pengetahuan dalam tim menjadi sangat penting untuk peningkatan kapasitas organisasi dalam menambah modal intelektualnya
Organisasi pada dasarnya terdiri atas unit yang harus bekerja sama untuk menghasilkan kinerja yang optimal. Unit-unit itu antara lain ada yang disebut divisi, direktorat, bagian, atau cabang. Kesuksesan suatu organisasi sangat ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk melakukan pekerjaan secara sinergis. Kemampuan untuk membangun hubungan yang sinergis ini hanya akan dimiliki kalau semua anggota unit saling memahami pekerjaan unit lain dan memahami juga dampak dari kinerja unit tempat dia bekerja pada unit lainnya. Seringkali dalam organisasi orang hanya memahami apa yang dikerjakan dan tidak memahami dampak dari pekerjaannya dia pada unit lainnya. Selain itu seringkali timbul fanatisme seakan-akan hanya unitnya sendiri yang penting perannya dalam organisasi dan unit lainnya tidak berperan sama sekali. Fenomena ini disebut dengan ego-sektoral. Kerugian akan sangat sering terjadi akibat ketidakmampuan untuk bersinergi satu dengan lainnya, pemborosan biaya, tenaga dan waktu. Terlepas dari adanya perasaan bahwa unit diri sendiri adalah unit yang paling penting, tidak adanya pemikiran sistemik ini akan membuat anggota perusahaan tidak memahami konteks keseluruhan dari organisasi. Kini semakin banyak organisasi yang mengandalkan pada struktur tanpa batas (boundaryless organization), yaitu suatu paradigma yang menyatakan bahwa dalam organisasi sangat sedikit batas-batas antar orang, tugas, proses, tempat yang semua itu ditujukan untuk lebih focus pada eksplorasi ide, keputusan, informasi, dan bakat seseorang (Ashkenas et al. dalam Meika Kurnia, 2002). Atau jika suatu organisasi masih menggunakan struktur organisasi berbasis fungsi, kini fungsi-fungsi yang terkait dengan proses yang sama dibuat saling melintas batas fungsi; organisasi yang demikian disebut organisasi lintas fungsi atau cross-functional organization.
Organisasi-organisasi yang demikian ini akan membuat proses pembelajaran lebih cepat karena masing-masing orang dari fungsi yang berbeda akan berbagi pengetahuan dan pengalamannya dan akan mempercepat proses pembelajaran individu (individual learning) di dalam organisasi terkait.
Neffe (2001) menyimpulkan beberapa elemen yang harus ada dalam learning organization, yaitu:
a. The learning process. Elemen ini merupakan bagian integral dari hamper semua definisi.
b. Knowledge acquisition or generation. Elemen ini menunjuk bahwa proses pembelajaran sebagai incorporating pengetahuan dari luar organisasi dan creating pengetahuan dari dalam, paling banyak melalui trial and error. Elemen ini dinyatakan oleh Huber, Dixon, dengan menyebut knowledge acquisition dan Nonaka & Takeuchi dengan menyebut knowledge generation
c. Individual Learning. Elemen ini dimasukkan sebagai prerequisite pembelajaran organisasi seperti yang dinyatakan oleh Argyris & Schon dan Pawlowsky.
d. Teams Learning. Elemen ini dimasukkan berdasarkan pertimbangan bahwa beberapa penulis, Senge, Dixon, Pawlowsky, menyebutkan bahwa team learning sebagai faktor penting terjadinya pembelajaran organisasi.
e. Organizational knowledge. Elemen ini dinyatakan oleh mayoritas penulis dan menjadi sufficient condition untuk terjadinya organizational actions.
C. Karakteristik Learning Organization
Megginson dan Pedler (Dale, 2003) memberikan sebuah panduan mengenai konsep organisasi pembelajaran, yaitu “Suatu ide atau metaphor yang dapat bertindak sebagai bintang penunjuk. Ia bisa membantu orang berpikir dan bertindak bersama menurut apa maksud gagasan semacam ini bagi mereka sekarang dan di masa yang akan datang. Seperti halnya semua visi, ia bisa membantu menciptakan kondisi di mana sebagian ciri-ciri organisasi pembelajarna dapat dihasilkan”. Kondisi-kondisi tersebut adalah:
Strategi pembelajaran;
Pembuatan kebijakan partisipatif;
Pemberian informasi (yaitu teknologi informasi digunakan untuk menginformasikan dan memberdayakan orang untuk mengajukan pertanyaan dan mengambil keputusan berdasarkan data-data yang tersedia);
Akunting formatif (yaitu sistem pengendalian disusun untuk membantu belajar dari keputusan);
Pertukaran internal;
Kelenturan penghargaan;
Struktur-struktur yang memberikan kemampuan;
Pekerja lini depan sebagai penyaring lingkungan;
Pembelajaran antar perusahaan;
Suasana belajar;
Pengembangan diri bagi semua orang
Meskipun suatu organisasi melakukan semua hal di atas, tidak otomatis suatu organisasi menjadi learning organization. Perlu dipastikan bahwa tindakan-tindakan tidak dilakukan hanya berdasarkan kebutuhan. Tindakan-tindakan tersebut harus ditanamkan, sehingga menjadi cara kerja sehari-hari yang rutin dan normal. Strategi pembelajaran bukan sekedar strategi pengembangan sumber daya manusia. Dalam learning organization, pembelajaran menjadi inti dari semua bagian operasi, cara berperilaku, dan sistem.
Bagaimana Membangun Learning Organization yang Tangguh?
Pertanyaan yang muncul adalah apa yang mesti dilakukan untuk membangun learning organization yang tangguh? Dalam hal ini, langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan membangun iklim dialog dan knowledge sharing yang kuat. Elemen ini penting sebab proses pembelajaran tidak akan pernah bisa berlangsung jika tidak ada komitmen yang kokoh diantara para karyawan apapun levelnya, untuk bertukar gagasan dan pengetahuan, baik secara formal learning maupun melalui proses informal learning. Proses informal learning ini layak disebut, sebab berdasar riset, kegiatan ini memiliki peran yang amat signifikan dalam mengembangkan kemampuan belajar organisasi dan bahkan lebih efektif dibanding proses formal learning melalui kegiatan semacam in-class training.
Menurut Prijono Tjiptoherijanto (2004: 29-31) ada beberapa persyaratan yang diperlukan agar tercipta dialog yang baik yang dikenal dengan istilah VICTORI yaitu: Valid Information (jangan ada informasi yang tidak benar, semuanya harus transparan), Choise (masing-masing bebas untuk memberi penafsiran), Trust (masing-masing pihak harus saling percaya), Oppenes (semuanya harus membuka diri terhadap ide anggota lainnya), Responsibility (semaunya harus bertanggung jawab terhadap komitmen bersama), dan Involvement (semua harus terlibat dan berkontribusi sesuai kemampuannya dalam proses learning).
Kunci utama pelaku knowledge sharing adalah manusia. Keuntungan dari orang yang berbagi knowledge adalah mereka mampu merespon kesempatan secara cepat. Inovasi dapat dicaptakan bukan bersifat reinventing the wheel, agar mencapai sukses di bisnis secara cepat dan biaya murah. Menurut David J. Skryme dalam Bambang Setiarso (2006) bahwa salah satu tantangan knowledge management adalah menjadikan manusia berbagi knowledge mereka. Untuk menghadapi tantangan tersebut David J. Skryme menyarankan tiga C yaitu: Culture, Co-opetition (menyatukan kerja sama dengan persaingan), dan Commitment.
Penumbuhan iklim learning juga harus dibarengi dengan penciptaan mekanisme atau infrastruktur yang dapat mendorong agar kegiatan proses learning di antara para karyawan bisa berlangsung lebih terpadu. Di sini, peran knowledge management menjadi amat kritikal; sebab melalui mekanisme inilah proses pembelajaran dan akumulasi pengetahuan yang tersebar di antara segenap karyawan bisa dikelola secara efektif dan didesain agar selaras dengan arah strategi perusahaan. Carl Davidson dan Philip Voss (2003) mengatakan bahwa mengelola knowledge sebenarnya merupakan bagaimana organisasi mengelola staf; knowledge management adalah bagaimana orang-orang dari berbagai tempat yang berbeda mulai saling bicara, yang sekarang populer dengan label learning organization.

BAB IV. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Keunggulan kompetitif suatu organisasi dapat dicapai dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan memiliki SDM yang memiliki keunggulan kompetitif pula, yaitu para karyawan yang memiliki akses dan mampu menerapkan pengetahuan dalam mengambil keputusan. SDM adalah aset atau unsur yang paling penting di antara unsur-unsur organisasi lainnya. SDM penting dikarenakan mempengaruhi efisiensi dan efektivitas organisasi dan merupakan pengeluaran pokok organisasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Di sisi lain, SDM penting sebab merupakan penggerak/motor terhadap sumber daya-sumber daya lain dalam organisasi. Untuk itu, perusahaan dituntut untuk melakukan pengembangan berkesinambungan terhadap kuantitas dan kualitas "stock" pengetahuan mereka melalui pelatihan kepada SDM atau merangsang SDM-nya agar "learning by doing" dalam sebuah semangat yang termaktub dalam learning organization.

Saran
Dalam usaha pengembangan sumber daya manusia perlu dilakukan penelitian dan penelaahan sejauh mana pengetahuan karyawan tentang berorganisasi pada saat ini,sehingga akan didapat bentuk pengembangan apa yang sesuai.
Perlu dilakukan pelatihan yang berkesinambungan tentang Organization, sehinggaakan dirasakan ”penyegaran” sehingga dapat diterapkan secara konsisten dan berkelanjutan.
Daftar Pustaka

Argyris, C. 1982. Reasoning, Learning, and Action: Individual and Organizational. San Francisco, California: Jossey-Bass.
Bambang Setiarso. 2006. “Teori, Pengembangan dan Model “Organizational Knowledge Management Systems (OKMS)”. Makalah yang disampaikan pada Seminar “Knowledge Management and Competitive Values: Key Success Factor in Business”, Bandung: ITB dan Unversitas Widyatama, 5 Agustus 2006. Download: 20/5/2007; 10:13 PM
Henry Simamora. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi ke 3. Yogyakarta: STIE YKPN.
Meika Kurnia. 2002. “Sistem Karir dan Pengembangan Karir di Organisasi Tanpa Batas (Career Systems & Career Development in The Boundaryless Organization)”. Manajemen Usahawan. No. 04 TH XXXI April. http:// http://www.imfeui.com/. Download: 18/6/2007; 10:44 PM.
Prijono Tjiptoherijanto. 2004. “Konsep Pengembangan SDM Menghadapi Perubahan dan Tantangan Organisasi”. Manajemen Usahawan. No. 02 TH XXXIII Februari.
Tilaar, H.A.R. 1997. Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi, Jakarta: PT Grasindo.

Rabu, 09 Juli 2008

definisi Mutu Produk

- Pengertian Mutu menurut Raymond MC Leod adalah “Kesesuaian dengan spesifikasi pelanggan”. Halaman 99,diterjemahkan oleh Hendra Teguh dalam Buku Sistem Informasi Manajemen, tahun 1997, Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
- Mongomery yang dikutip Suprapto menyatakan "Quality is extent to which products meet the requirements of people who use them" jadi mutu merupakan batasan dimana produk telah sesuai dengan kebutuhan dari orang-orang yang menggunakan produk tersebut. Halaman 2 dalam buku Teori dan Aplikasinya, Karangan J. Suprapto, penerbit Erlangga, Jakarta
- Philips B. Crosby dikutip Rudi Suardi menyatakan : “Mutu berarti kesesuaian terhadap persyaratan”. Halaman 2 dalam buku Sistem Manajemen Mutu Iso 9000:2000, penerbit PPM tahun 2003,
- Pengertian Mutu Menurut Sofyan Assauri adalah “Faktor-faktor yang terdapat dalam suatu barang/hasil tersebut sesuai dengan tujuan untuk apa barang atau hasil itu dimaksudkan”. Halaman 221, dalam buku Manajemen Pemasaran : Dasar,Konsep dan strategi, Tahun 2000 penerbit CV Rajawali, Jakarta.
Definisi Produk
- Basu Swastha menyatakan bahwa produk merupakan suatu sifat komplek baik dapat diraba maupun tidak dapat diraba termasuk bungkus, warna, harga, prestise perusahaan dan pengecer, yang terima oleh pembeli untuk memenuhi keinginan atau kebutuhannya, halaman 94 dalam bukunya yang berjudul Saluran Pemasaran tahun 1994 penerbit BPFE, Yogyakarta.
- Fandy Tjiptono mengemukakan bahwa “ Produk merupakan segala sesuatu yang dapat ditawarkan produsen untuk diperhatikan, diminta, dicari, dibelikan, digunakan atau dikonsumsi pasar sebagai pemenuhan kebutuhan atau keinginan pasar yang bersangkutan”. Halaman 95 dalam bukunya yang berjudul Kerangka Dasar Manajemen Pemasaran, tahun 2002, penerbit PT.Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.
- Werren J. Keegan terjemahan Herawan Kartajaya mendefinisikan produk sebagai koleksi sifat-sifat fisik, Jasa, dan simbolis, yang menghasilkan kepuasan, atau manfaat, bagi seorang pengguna atau pembeli, halaman 73 dalam buku Prinsip Pemasaran, tahun 1996, penerbit Erlangga, Jakarta.
- Saefullah secara klonseptual mendefinisikan Produk sebagai berikut : “ Pemahaman subjektif dari produsen atas sesuatu yang bisa ditawarkan sebagai usaha untuk mencapai tujuan organisasi melalui pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen sesuai dengan kompetensi dan kapasitas organisasi serta daya beli pasar”. Halaman 95 dalam bukunya Pemasaran Jasa tahun 2002, penerbit Andy Offside, Yogyakarta.
Definisi Mutu Produk
Gasperz Vincent (1997 : 58) terjemahan Agus Puswanta, mengemukakan tentang mutu produk sebagai berikut :
“Mutu produk berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi konsumen. Dengan kata lain ada dua faktor utama yang mempengaruhi mutu produk, yaitu expected service dan perceived service, apabila produk yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka mutu produk dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika produk yang diterima melampaui harapan konsumen, maka mutu produk dipersepsikan sebaai mutu yang ideal. Sebaliknya jika produk yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, maka mutu produk dipersepsikan buruk”.

Volume Penjualan
- Menurut Winardi dalam buku “Pengantar Tentang Riset Pemasaran”, tahun 2003, penerbit Mandar Maju, Bandung, halaman 112 menyatakan bahwa :
“ Penjualan (selling) didefinisikan sebagai proses dimana sang penjual memastikan, mengaktivasi dan memuaskan sang pembeli agar dicapai manfaat, baik bagi sang penjual maupun bagi sang pembeli yang berkelanjutan dan menguntungkan bagi kedua belah pihak:.
- Menurut Sutanto dalam bukunya “Tehnik Menjual Barang” Tahun 2002, Penerbit PT.Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta ,halaman 87 menyatakan :
“Penjualan adalah usaha yang dilakukan oleh manusia untuk menyampaikan barang kebutuhan yang telah dihasilkan kepada mereka yang memerlukan dengan imbalan harga yang ditentukan atas persetujuan bersama”.
- Tujuan penjualan dinyatakan dalam volume penjualan. Tujuan ini dapat dipecahkan berdasarkan penentuan apakah volume penjualan yang ingin dicapai itu berdasarkan per wilayah operasi atau per salesperson didlam suatu wilayh operasi. Tujuan operasi juga biasanya dinyatakan dalam target gross margin, tingkat pengeluaran maksimum, atau pencapaian tujuan tertentu seperti merebut pelanggan pesaing, halaman 249 dalam buku Strategi pemasaran, karangan Fandy Tjiptono, Edisi ke II tahun 1997, penerbit C.V Andi Offset, Yogyakarta
- Volume penjualan dapat dijabarkan sebagai umpan balik dari kegiatan pemasaran yang dilaksanakan oleh perusahaan. Penjualan mempunyai pengertian yang bermacam-macam tergantung pada lingkup permasalahan yang sedang dibahas. Menurut Kotler dan Amstrong (1998), penjualan dalam lingkup kegiatan, sering disalah artikan dengan pengertian pemasaran. Penjualan dalam lingkup ini lebih berarti tindakan menjual barang atau jasa. Kegiatan pemasaran adalah penjualan dalam lingkup hasil atau pendapatan berarti penilaian atas penjualan nyata perusahaan dalam suatu periode.dalam buku Marketing: an Intruduction, edisi ke 3, penerbit Prentice-Hall inc, new jersey
- Menurut Swastha dan Irawan (2000), permintaan pasar dapat diukur dengan menggunakan volume fisik maupun volume rupiah. Berdasarkan pendapat Swastha dan Irawan tersebut, pengukuran volume penjualan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu didasarkan jumlah unit produk yang terjual dan didasarkan pada nilai produk yang terjual (omzet penjualan). Volume penjualan yang diukur berdasarkan unit produk yang terjual, yaitu jumlah unit penjualan nyata perusahaan dalam suatu periode tertentu, sedangkan nilai produk yang terjual (omzet penjualan), yaitu jumlah nilai penjualan nyata perusahaan dalam suatu periode tertentu. Dalam buku Manajemen Pemasaran Modern, Penerbit Liberty Yogyakarta.
Definisi Operasional
Mutu produk adalah suatu karakteristik barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan konsumen baik berupa kebutuhan yang dinyatakan maupun kebutuhan yang tersirat.
Penjualan adalah usaha yang dilakukan oleh manusia untuk menyampaikan barang kebutuhan yang telah dihasilkan kepada mereka yang memerlukan dengan imbalan harga yang ditentukan atas persetujuan bersama
Volume penjualan adalah hasil dari usaha pejualan yang ditentukan berdasarkan jumlah unit yang terjual pada periode tertentu,berdasarkan hari, bulan dan tahun.